Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Budaya Melayu dalam Novel ‘Padang Bulan’ Karya Andrea Hirata (1)

Budaya Melayu dalam Novel ‘Padang Bulan’ Karya Andrea Hirata (1)

“Setiap karya dilahirkan tidak dalam kekosongan budaya” itu adalah kredo yang sering diucapkan oleh para kritikus sastra yang hendak menganalisis sebuah karya. Memang setiap karya sastra baik berupa puisi, prosa (cerpen dan novel), maupun drama, diciptakan oleh seorang pengarang yang memiliki latar belakang budaya. Yang dimaksud dengan budaya bukan berarti harus bertalian dengan keadaan tradisi yang tradisional. Latar belakang budaya dari seorang sastrawan atau penulis karya sastra bisa jadi yang tidak berkaitan dengan budaya tradisi.

Seorang penulis akan menuangkan ide kreatifnya sesuai dengan apa yang diketahui. Jika penulis tersebut adalah orang Jawa maka latar budaya yang juga muncul dalam karya-karyanya adalah budaya Jawa. Begitu pula jika penulisnya berasal dari Madura, maka karya-karya pasti tidak jauh dari budaya Madura. Pun begitu dengan Andrea Hirata
. Dia adalah orang anak melayu. Semua novel karyanya selalu bertalian dengan budaya melayu. Mulai dari tetralogi Laskar Pelangi hingga novelnya yang berjudul Sebelas Patriot.  Semuanya berlatar pulau Belitong (Andrea  Hirata anti menulis Belitung).

Salah satu novel Andrea Hirata yang kuat dalam menggambarkan budaya melayu adalah novelnya yang berjudul Padang Bulan. Novel pertama dari dwilogi Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas ini menggambarkan kebudayaan-kebudayaan yang ada di masyarakat Melayu Belitung.

Sebelum membahas tentang kebudayaan Melayu yang terekam dalam Novel Padang Bulan karya Andrea Hirata, ada baiknya dijabarkan mengenai definisi kebudayaan yang menjadi dasar pemikiran dalam tulisan ini agar tidak terjadi silang pendapat karena beda persepsi tentang budaya dan kebudayaan.

Kebudayaan berasal dari kata budaya secara harfiah kata tersebut berasal dari budhi (bahasa Sanskerta). Jika diterjemahkan secara bebas, budaya adalah kebiasaan. Namun, Kuntjaraningrat mengartikan budaya sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Maksudnya adalah kebudayaan adalah sesuatu yang diciptakan tidak muncul sendiri. Siapa yang menciptakan ya manusia itu sendiri. Dalam proses penciptaan itu, juga dilandasi oleh rasa (perasaan) jadi ada unsur kebatinan, sekaligus ada karsa yaitu tindakan (aksi nyata) terhadap kebudayaan. Kebudayaan yang hanya ada dalam pikiran tidak dapat disebut dengan kebudayaan.
Maka, dari penjelasan di atas yang dimaksud kebudayaan dalam tulisan ini diartikan secara sederhana sebagai kebiasaan. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap suku Melayu tulisan ini hanya merekam apa yang ditulis Andre Hirata dalam Novel Karyanya Padang Bulan.

Berikut ini budaya-budaya orang Melayu:

Memanggil Nama Ayah dari Nama Anaknya

“Apa Yahnong tak bekerja?” (Novel Padang Bulan halaman 2)

Data di atas merupakan kutipan dari novel Padang Bulan Karya Andrea Hirata. Bagian tersebut adalah perkataan dari tokoh Syalimah, ibu Enong yang juga istri Zamzami. Zamzami-lah yang dipanggil Yahnong oleh Syalimah.
Yahnong, singkatan untuk ayah bagi anak tertua mereka. (Novel Padang Bulan halaman 2).

Disebutkan pula oleh Hirata dalam novel tersebut bahwa sudah menjadi kebiasaan orang Melayu untuk memanggil seorang bapak dengan nama anak tertuanya. Hal ini juga berlaku di masyarakat Jawa di Jawa Timur dan orang Madura. Bedanya jika di Melayu menggunakan kata ‘yah’ pada masyarakat Jawa digunakan kata ‘Pak’e’ sedangkan orang Madura menggunakan kata ‘Pak’. Ada pula orang Madura yang menggunakan kata ‘Man’ untuk memanggil seseorang yang diikuti  dengan nama anaknya. Misalnya ada orang yang memiliki anak bernama Munir, maka orang itu juga dipanggil Man Munir (biasanya diucapkan: Man Moner). Struktur dan proses pembentukan yang sama persis dengan budaya orang Melayu.

Memercayai Hal Mistis
Sama dengan masyarakat Nusantara kebanyakan, orang Melayu dalam Novel Padang Bulan Karya Andrea Hirata ini juga digambarkan memercayai hal-hal mistis yang berkaitan dengan leluhur, benda pusaka, tulah, dan sekaligus cara menangkal tulah tersebut. Dalam novel ini penggambaran mengenai kepercayaan orang Melayu terhadap hal-hal mistis dapat dibaca pada halaman 17.

.... ada sebuah ruangan  yang jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan salam demi menghormati tombak karatan, peninggalan hulubalang.... uang kecil yang diselipkan ke dalam kotak .... menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. (Novel Padang Bulan halaman 17).

Data di atas menunjukkan bahwa orang Melayu memiliki kepercayaan sekaligus menghormati benda-benda pusaka. Menghormati leluhur pula meskipun tidak tahu asal muasal leluhur tersebut. Bentuk penghormatan tersebut ditunjukkan dengan membuka sandal dan mengucapkan salam. Selain memercayai pusaka mistis, juga memunyai kepercayaan tentang lancar jodoh dan awet muda dengan berderma.

...... Anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya, agar tidak kualat. (Novel Padang Bulan halaman 17).

Berdasarkan data tersebut, ajaran moral untuk menghormati dengan tidak menunjuk diajarkan sejak anak-anak. Mereka ditakuti dengan tulah atau kualat. Kualat adalah keadaan menerima keburukan karena orang tersebut pernah melakukan keburukan terhadap orang lain. Akan tetapi ada syarat untuk memperbaiki kesalahan (mengisap telunjuk).

Lanjutkan Baca Kebiasaan Orang Melayu: ORANG MELAYU GEMAR BENAR MENERTAWAKAN ORANG LAIN


Posting Komentar untuk "Budaya Melayu dalam Novel ‘Padang Bulan’ Karya Andrea Hirata (1)"