Ngiyup adalah Sebuah Seni dan Keterampilan | Sebuah Catatan Kata dan Perjalanan
Ini adalah tentang ngiyup. Berteduh yang paling berkesan. Bagaimana dengan ngiyupmu? Apakah ada yang lebih berkesan dibanding ngiyup dengan gebetan yang sengaja dilama-lamakan?
Ngiyup secara etimologis, adalah sebuh kata kerja aktif yang berasal dari kata dasar 'iyup'. Mendapat prefiks alias awalan alias imbuhan yang berada sebelumnya. Prefiksnya adalah 'ng' secara fonetis ditulis (ŋ) bisa juga disebut dengan bunyi sengau. Dari kata 'iyup' menjadi 'ngiyup' [ŋiyup].
Iyup, adalah kata dalam bahasa Jawa yang sepadan dengan kata 'teduh'. Meskipun tidak semua-mua kata dalam bahasa Indonesia 'teduh' bisa diganti dengan kata 'iyup'. Misalnya grup 'Payung Teduh' akan aneh jika ditulis dengan kata 'Payung Iyup'. Atau kata 'wajahnya teduh' tidak serta merta bisa diterjemakan menjadi 'raine iyup'.
Payung teduh adalah nama grup, sementara wajah teduh maksudnya wajah yang ramah. Tidak sedang marah.
Ngiyup, secara sederhana diartikan 'berteduh'. Baik dari paparan sinar matahari siang yang ngentang-ngentang menyengat. Tapi juga banyak digunakan untuk istilah orang yang sedang berteduh dari guyuran hujan saat di perjanalan.
11 November kemarin, sehari setelah peringatan hari pahlawan. Melakukan 'ngiyup' dua kali. Saat siang dan sehabis magrib. Siang hari ngiyp menjelang asar. Di jalan selatan sungai, hendak ke kecamatan sebelah. Hujan cukup deras menerpa. Diputuskan ngiyup di Masjid Baitul Ijabah, yang berada di utara sungai. Parkirnya luas, beratap galvalum. Sangat pas untuk memarkir motor dan menunggu hujan reda.
Lebih pas lagi ada bakul cilok yang juga ngiyu di situ. Ada ganjal bagi perut yang lapar. Ada rejeki bagi penjual cilok yang dari hujan dia menghindar.
Sepertinya ini adalah seni ngiyup yang indah. Sambil ngerasani rumah di seberang jalan dan seberang sungai. Warnanya cerah, biru tosca (emang ada bir tosca?). Pokoknya biru yang menyala. Bentuknya gudangan, seperti bentuk rumah kebanyakan. Tapi pembagian dilihat dari luar pas. Dibagi menjadi tiga, 1/3 menjadi halaman beranda, 1/3 di kiri menjadi garasi, 1/3 di kanan menjadi --sepertinya-- ruang tidur.
Ternyata, bentuk gudangan yang biasanya biasa saja, menjadi terlihat keren dan istimewa.
Lalu, setelah hujan semakin deras, ada seja bapak-bapak di atas 50 tahun datang, mengendarai motor dengan memegang payung. Berbasah-basah. sarungnya digulung tinggi. Baju kokonya dilipat dibungkus kresek Kami saja ngiyup di Masjid, dia malah dengan sengaja nerabas hujan demi ke masjid. Ada pula satu orang lagi, pakai mantel udan, alias jas hujan.
Dua orang yang menerabas hujan, tidak ngiyup. Parkir bersebelahan.
Ternyata ngiyup kami adalah tujuan mereka. Memang azan asar sudah berkumandang. Selawat tarhim menggema, mungkin beliau berdua segera jalan. Ah, hinanya kami.
Maka, ngiyup di masjida adalah sebuah seni tersendiri. Seni memahami kelemaan diri.
Malamnya, kembali harus mengalami 'ngiyup'. Hendak ke desa sebelah. Ada undangan. Ternayata malam hari kembali hujan cukup deras. Maka ngiyuplah kami. Sudah tahu lokasi dan peta sekitar. Ada satu tujuan, sebuah warung yang dipastikan tutup tak jauh dari hujan mulai turun. Langsung parkirkan motor, dan berteduh di warung. Ada tempat duduknya, di siang hari biasanya ditempati orang cangkruk main catur.
Ini adalah ngiyup yang menggambarkan realita. Saat ngiyup itu, tak lama kemudian datang sebuah motor, seorang suami dan anak beserta istrinya. Berteduh juga, di tempat yang sama. Mereka hendak ke Jenggawah. Tentu maksudnya adalah alun-alun kecamatan Jenggawah. Sebuah pusat kereamian yang menyuguhkan berbagai hiburan sederhana tapi cukup mewah bagi kami orang desa.
Ngiyup mungkin adalah cara si bapak untuk 'menunda' berangkat. Untuk menghemat jajan si anak. Mungkin jika perlu juga menggagalkan tujuan si anak untuk 'rekreasi' ke Jenggawah.
Saat hujan sudah mulai reda, melanjutkan perjalanan. Kali ini sudah berjalan sekitar 50-an meter. Ternyata hujan kembali menderas. Sebagai orang yang paham lokasi jalan yang hampir setiap hari dilewati berkali-kali, tentu hafal betul tidak ada lagi tempat ngiyup yang cukup strategis di depan. Diputuskan balik arah. Kembali ke tempat berteduh semula.
Kembali haru berbagi tempat teduh dengan satu keluarga yang masih belum beranjak dari tempat ngiyupnya. Justru tambah satu sepeda motor lagi. Seorang suami dengan istrinya. Duduk, bersanding di tempat teduh. Memandang ke depan, entah apa yang diobrolkan, dan keduanya tanpa memegang gawai. Tidak sibuk sama sekali dengan HP nya. Benar-benar pasangan suami istri yang tidak disibukkan dengan dunia lain, karena dunianya sudah ada di sampingnya.
Ngiyup benar-benar menjadi bagian perjalanan yang harus dilewati. Sebuah fase dan pembelajaran yang lengkap dan sangat manusiawi.
Manusia bisa merencanakan hendak ke mana pada jam berapa. Ternyata alam berkendak lain dengan menurunkan hujannya. Tidak perlu menerabas kehendak alam dan sanga Maha Kuasa. Karena hujan, cukup berteduh saja. Untuk menghindari basah kuyup. Karena kami hanya naik motor.
Bersyukurlah kita yang masih dan bisa merasakan ngiyup. Tidak semua hal bisa kita terabas. Tidak semua hal bisa sesuai dengan kehendak kita.
Dengan naik sepeda motor, kita justru bisa lebih menyatu dengan alam dan mensyukuri hujan maupun redanya hujan dengan lebih paripurna dan maksimal.
Bagaimana ngiyupmu? Pengalaman ngiyupmu yang paling berkesan yang bagaimana? Selain ngiyup dengan gebetan tentunya. Karena urusan dengan gebetan, jangankan ngiyup atau kehujanan. Hujan peluru pun sepertinya akan tetap bahagia saja.
إرسال تعليق for "Ngiyup adalah Sebuah Seni dan Keterampilan | Sebuah Catatan Kata dan Perjalanan"
Komentar bisa berupa saran, kritik, dan tanggapan. :)