Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Ternyata Penduduk Jember Memang Campur, Termasuk dari Jepara

"Mbah Hasbi iku asale teko Jeporo," Begitu penggalan Kisah asal-usul leluhur yang tak pernah saya ketahui usulnya. Hanya kisah itu. Sepenggal itu. Bahwa dulu, Mbah Hasbi itu adiknya Mbah Marjuki. Mbah Marjuki, kabarnya adalah Petinggi Kaliwining.

Ini hanya kisah tutur, tanpa ada dokumen resmi. Tanpa bisa diklarifikasi. Karena masih menurut kisah Tutur, Mbah Marjuki meninggal dan tidak lagi menjadi Petinggi di zaman Jepang. 

Salah satu musabab kegemaran pada sejarah, karena sering mendapat cerita langsung dari Bapak. Yang lahirnya sebelum zaman Jepang. Mungkin tahun 1930-an. Memang tidak ada catatan dan dokumen otentik tahun kelahiran Bapak.

Jember dan Jepara Jika Ditempuh Jalan Kaki -- Tangkapan Layar Google Maps



Jika tentang asal-usul dan musabab datangnya ke Bumi Jember, leluhur yang katanya dari Jepara ini, sama sekali tidak bisa diklarifikasi. Sementara tahun kelahiran Bapak, masih bisa ada benarnya. Di Tahun 1930-an. Karena, Bapak menjadi salah satu Penduduk Republik Muda, yang turut serta mencoblos dalam Pemilihan Umum Pertama Republik Indonesia. Tahun 1955. 

Salah satu syarat memiliki hak pilih adalah berusia 17 Tahun. Jika saja dianggap pas di usia 17 tahun, artinya Bapak Lahir 7 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. Artinya, setidak-tidaknya Bapak Lahir tahun 1938, bisa saja lebih. 

Dari orang yang lahir di zaman Pemerintah Kolonial Belanda ini, sedikit tahu tentang beberapa hal yang menjadi asal-usul penduduk Jember. Yang campur aduk antara Jawa dan Madura ini. 

Bahwa dari Penuturannya, minimal garis keturunan keluarga kami. Yang terdiri dari tiga orang laki-laki, berasal dari Jepara. Jika dibandingkan dengan Peta Perkebunan zaman Hindia Belanda. Kaliwining adalah salah satu nama area Perkebunan yang sudah ada di tahun 1880an. 

Pembacaan sejarah yang intens inilah, yang membawa saya --sebagai orang yang tidak belajar secara formal kecuali di sekolah-- senang membaca naskah-naskah sejarah. Khsusunya yang berkaitan dengan Jember. 

Jadilah saya membaca peta perkebunan di Jember. Asal-usulnya. Termasuk menelisik sebenarnya Jember ini dihuni oleh orang sejak kapan. Lalu sampai merujuk pada naskah Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, tentu yang menjadi fokus pembacaan adalah bagian yang menceritakan kisah Raja Hayam Wuruk Pleseri ke wilayah Lumajang dan Sadeng. Sadeng adalah wilayah Jember saat ini. 

Dalam naskah transliterasi Negara Kertagama inilah, yang katanya berbahasa Sanskerta saya menemukan kata 'ring' yang bermakna ke. Misalnya ring sadeng. Bisa bermakan Ke Sadeng atau di Sadeng.

Sadeng adalah nama tempat. Yang sekarang menjadi Puger. 

Sementara kata ring juga terdapat dalam bahasa Osing dengan arti yang sama. Misalnya dalam lagu mbanyuwangen: Gelang Alit yang liriknya begini:
    "gelyang alit ring deriji
    ojo lali tumekane pati"

Dalam lagu tersebut ada kata 'ring' yang bermakna 'di'. Maksudnya gelang alit dalam lirik lagu tersebut tentu adalah cincin. Cincin di jari. 

Bahasa Osing jelas banyak dipengaruhi juga oleh Bahasa Sanskerta, sebagai mana turunan bahasa-bahasa lain turunnanya seperti halnya jawa dan Madura. 

Dalam bahasa Jawa yang banyak digunakan di Jember, kata ring sepertinya sudah tidak dikenal, dan tidak digunakan. 

Kebanyakan penutur bahasa Jawa di Jember menggunakan kata neng, ning, nang, nok, sebagai kata ganti di sebagai kata dapan:

nang pawon
neng pawon
ning pawon
nok pawon 

adalah variasi bentuk pengucapan yang beragam yang artinya sama: di dapur. 

Jika merujuk pada bahasa sanskerta yang lebih tua, ada kata ring sangat mungkin yang paling dekat adalah ning. lalu variasi pelafalannya menjadi neng, nang, dan kemudian berubah menjadi nok di sebagian penuturnya. 

Sementara, itu dari keterbatasan pengetahuan penggunaan dan sebaran variasi bahasa Jawa yang saya ketahui --sebatas Jember saja-- menjadi sedikit 'terkejut' ketika membaca status whatsApp salah satu teman SMA yang aslinya jember kemudian bermukim di Jogja yang kemudian pindah lagi ke Jepara. Ratnaning namanya.  

Dalam status w.a itu, dia menulis yang intinya mosok ora kesah, adoh-adoh ngeterke undangan ring omah. 

Tertulis ring yang ternyata sama berarti di atau ke. Maka bertanyalah kepadanya 'apakah ring dalam kalimat itu memiliki makna di atau ke. Dan dari penjelasan yang lebih lanjut, ternyata Bahasa Jawa Jepara menurutnya beda Jauh dengan Jogja, dia bisa membandingkan karena pernah bermukim di keduanya. 

Sementara menurutnya, bahasa Jawa di Jember lebih dekat dengan Jogja. Bahwa teori Bahasa Jawa di Jember Selatan adalah Bahasa Jawa Mataraman. 

Tapi sebenarna juga ada jeporoan, meskipun mungkin penuturnya sangat sedikit hingga akhirnya habis kalah oleh hegemoni bahasa Jawa Mataraman dan Madura. 

Menjadi lebih teringat lagi oleh kisah yang pernah dituturkan oleh Bapak, tentang kata mberuh. Kata tersebut kembali teringat, setelah searching di Google tentang Bahasa Jeporoan, yang menjadi salah satu ciri khas --dalam artikel yang saya baca-- bahwa salah satunya penggunaan kata 'mberuh'. Sebagai pembeda bahasa Jeporoan yang tidak ada di daerah lain. Benar-benar khas Jeporo alias Jepara. 

Sementara, sejak saya kecil sudah mendengar kata 'mberuh'. Yang dikisahkan oleh bapak. Ada salah satu tetangganya yang juga masih saudaranya ketika mencari ikan -dulu ketika kanal masih bersih dan sungai masih alami, di masa Bapak Masih Muda-- ada saudaranya yang bilang:
    "nang kene iwake mberuh"

Tentu maknanya adalah ikan sangat banyak. 

Sementara menjadi teringat juga bahwa, dulu bapak sempat heran. mberuh itu bahasa dari mana. Jika saja beliau masih ada, tentu akan saya ajak diskusi. 

"Pak, mberuh itu bahasa khas Jepara. Yang artinya 'banyak'. Jadi, nemu bukti artefak bahasa bahwa leluhur kita dulu, memang berasal dari Jepara."

Lalu apa pentingnya membahas sejarah? yang tak mungkin digunakan lagi? entahlah yang jelas ini adalah sejarah yang dicari asal-usulnya. Untuk menghadapi masa depan harus berkaca pada masa lalu. Dengan sejarah yang jelas, kaca dan cermin masa lalu tentu lebih terang benderang. Sehingga bisa lebih peka menghadapi masa depan. Karena pada dasarnya sejarah itu berulang, hanya saja aktornya yang berbeda. 

Salam Pustamun!

Posting Komentar untuk "Ternyata Penduduk Jember Memang Campur, Termasuk dari Jepara"