Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Menyikapi Gempa dan Ramalan Lindu dalam Kitab Mujarabat di Bulan Sya'ban

pustamun.blogspot.com - ketika ada gempa bumi, baik yang saya rasakan sendiri maupun yang saya ketahui dari informasi lain, saya selalu membuka postingan lama di blog saya. Postingan yang saya tulis hasil transliterasi dari kitab mujarabat (مجربات) yang dimiliki oleh bapak saya. Tentu itu bukan kitab suci yang maha benar, juga bukan kitab ajaran agama, tapi mengandung nilai-nalai agama. Saya melihatnya sebagai bagian dari budaya.


Budaya Jawa adalah budaya yang penuh dengan ilmu titen dan ilmu pasemon. Ilmu titen yang saya pahami adalah sebuah hasi dari niteni (mengamati). Hasil pengamatan orang yang bersih hatinya tentang apa yang telah terjadi, dan biasanya kalau terjadi hal seperti ini karena terjadi hal seperti ini. 


Ilmu titen yang sudah terpapar ajaran agama Islam, pada dasarnya semua merujuk pada kehendak Tuhan yang maha kuasa, karena tiada daya dan upaya kecuali atas kehendaknya yang maha agung. 


Maka dari itu, ketika ada gempa alias Lindu yang terjadi, saya selalu melihat kitab Mujarabat. Awalnya karena disuruh oleh bapak, "deloken nang mujarabat, lagek ono lindu jiktas." Karena berkali-kali disuruh, sekalian saya tuiskan di blog. 


Seperti kemarin, Sabtu, 10 April 2021, yang ada gempa, yang ternyata pusat gempanya ada di pantai seletan Jawa, yang dekat dengan Kabupaten Malang. Getarannya sangat terasa, banyak status WA yang langsung menulis gempa. Baik teman yang berdomisili di seluruh kabupaten di Jawa Timur, maupun yang ada di Pulau Bali. 


Tak lama berselang, kakak mengirim chat melalui WA, "deloken nang mujaraba e Pak e. ono lindu.". Saya balas dengan tautaan tulisan tentang rangkuman kitab mujarabat ini: https://pustamun.blogspot.com/2016/06/pertanda-gempa-alamat-lindu-dan.html


Saya enggan memang menjelaskan isi 'alamat lindu wulan sya'ban lamun rahina' (pertanda gempa yang terjadi pada bulan Sya'ban pada siang hari). Karena isinya begini: alamat akeh wong mati lan sembarang larang (tandanya banyak orang mati dan semua --kebutuhan-- mahal).


Bukan merupakan kabar yang baik, bukan merupakan pertanda yang baik. Tapi sekali lagi, ini hanya ilmu titen, dari khazanah pengetahuan dan budaya Jawa. 


Lalu bagaimana menyikapinya? Saya melihatnya sebagai sebuah peringatan. Bukankah setiap tindak tanduk manusia memang sangat berkaitan erat dengan semesta. Saya melihatnya ini adalah teguran dari Tuhan, minimal peringatan lah. 


Meskipun sering berbeda pendapat dengan salah satu teman kuliah, jadi sependapat memandang tentang gempa ini. Dasarnya memang teman-teman adalah orang yang humoris, ada saja yang membuat guyonan di grup tentang gempa kemarin. Kata teman yang humoris, sedang Joget. Sementara ada teman yang serius memperingatkan, untuk jangan dibuat guyonan. Ini adalah peringatan dari Tuhan. 


Saya pun melihatnya begitu, ini adalah pertanda dari Tuhan, peringatan dari Tuhan. Peringatan dari apa yang telah terjadi, dan apa yang akan terjadi. Meskipun juga, tidak melarang yang membuatnya sebagai bahan candaan. Bercanda adalah berbahagia, berbahagia adalah cara paling sederhana dalam mensyukuri nikmat Tuhan ada. 


Kembali pada pertanda bahwa 'akeh wong mati dan sembarang larang'. Jika dilihat dari yang sudah ada, memang sedang terjadi seperti itu. Akeh wong mati, memang banyak orang yang meninggal. Indonesia masih menghadapi pandemi covid-19, dengan segala pro kontra di sekelilingnya. Tapi memang masih seirng terdengar, ada rumah sakit yang ruang perawatan intensifnya penuh. Bahkan sampai sekarang. 


Terkait dengan 'sembarang larang' bisa dimaknai sebagai harga mahal yang harus dibayar. Baik mahal secara nominal, maupun mahal sebagai nilai. 


Jika mencoba mengaitkan harga barang, waktu, dan budaya masyarakat Indonesia kekinian, mungkin ada benarnya. 'Sembarang larang' merujuk pada sya'ban akhir menjelang bulan Ramadan. Seperti yang telah sudah-sudah, masyarakat Indonesia mengenal tradisi prepekan/ tampanan poso. Biasanya ditandai dengan adanya peningkatan transaksi di pasar-pasar untuk memenuhi kebutuhan selametan. Jadi, bisa jadi harga menjadi mahal. 


Lebih-lebih nanti menjelang hari raya nanti, biasanya kebutuhan pokok yang terkait dengan lebaran juga akan mundak. Alias naik, alias menjadi mahal. Saya melihatnya kok ke arah sana. 


Apalagi kalau mengingat harga cabai. Saya kira sembarang larang termasuk lombok memang sudah terjadi. Meskipun ketika berdiskusi ringan dengan teman saya katan alamate sembarang larang, ada yang protes hanya harga gabah yang murah. Sebagai masyarakat petani, tentu tidak senang jika harga gabah tidak mahal. Tidak sesuai dengan biaya produksi dan pupuk yang mahal. 


Tapi jika merunut pada pemahaman yang lebih luas, harga gabah tidak mahal menjadi tanda bagi para petani bahwa harga barang-barang lain nilainya menjadi mahal. Karena kesulitan untuk membelinya.


Selebihnya, alam adalah milik Tuhan. Maka sebagai sesama makhluk kita hanya menumpang dan berharap bisa harmonis tinggal di dalamnya. Sembari memohon kepada Tuhan semoga tetap dalam lindungan-Nya.

3 komentar untuk "Menyikapi Gempa dan Ramalan Lindu dalam Kitab Mujarabat di Bulan Sya'ban"

  1. Saya suka membaca artikel2 anda , dg kata2 yg bijak mudah di pahami smg bermanfaat bagi masyarakat luas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, semoga bermanfaat.

      Hapus
  2. Anonim9/08/2021

    Terima kasih atas ilmunya
    Yuk kunjungi juga UNIMUDA Sorong dan UHAMKA

    BalasHapus