Lebaran Sungkem Bapak
Lebaran Pertama Tanpa Bisa Sungkem Bapak
Yang pertama memang biasanya selalu berkesan. Hari pertama masuk
sekolah, pasti berkesan. Hari pertama kerja, dan pertama-pertama yang lain. Termasuk
lebaran pertama, lebih berkesan daripada hari lebaran kedua.
Pada lebaran tahun ini, 1443 Hijriah, juga ada yang lebih
terasa, yaitu Kepergian Bapak. Bapak adalah anak kesepuluh dari sebelas
bersaudara yang meninggal paling akhir –adik satu-satunya meninggal lebih dulu.
Jadilah bapak adalah saudara tertua dari keponakan-keponakannya yang
masing-masing sudah memiliki cucu bahkan cicit.
Setiap kali lebaran, sejak yang saya ingat, hanya ngelencer
ke saudara bapak yang lebih tua. Mbah Kusen –paman bapak dari nenek, Pak De
Mualim, Pak De Sumo, De Muk, dan dua Saudara Ipar Bapak yang lebih tua. Seingat
saya hanya itu. Setelah saya agak besar, dan bisa ngelencer sendiri,
tanpa ditemani bapak. Saya juga ngelencer ke Lik Toni, alias Patoni. Sendirian
dalam arti sebenarnya, seorang diri tanpa bersama siapa pun. Kebetulan, rumah
masing-masing orang tersebut berdekatan. Hanya selemparan batu, tanpa ngotot.
Semakin saya besar, yang dilenceri bersama bapak
semakin berkurang. Karena satu persatu pergi, meninggal dunia. Urutan seingat
saya –bisa dikoreksi jika ada kesalahan—yang meninggal dulu adalah Pak De
Mualim, saat saya masih SD. Kemudian De Muk (Mbak Ipar, Bapak). Setelah itu,
bapak sudah tidak bisa ngelencer, karena mulai sakit.
Jadilah saya ngelencernya ‘hanya’ ke De Sumo, Lik Toni, Mbah
Husen. Tinggal itu saudara yang lebih tua dari bapak. Saudara-saudara yang lain
biasanya saya sanggong, saya tunggu di rumah karena mereka biasanya berkunjung
ke rumah, ke Bapak saya. Kemudian, secara berurutan hanya ngelencer ke Mbah
Kusen dan De Sumo. Kemudian akhirnya hanya berkunjung ke De Mud (Mudaifah),
istri Pak De Sumo.
Tahun kemarin, sudah tidak ada saudara Bapak yang lebih tua,
setelah De Mud juga meninggal—bersama dengan gelombang wabah. Saudara-saudara
tinggal berkunjung ke Bapak. Saya di rumah saja. Menunggu untuk bersemuka di
rumah dengan saudara-saudara sepupu dan para anak, para cucu, dan cicitnya.
Tahun ini, Bapak Meninggal dua bulan sebelum lebaran. Ini lebaran pertama, tanpa Bapak. Agak gagap
juga. Menghadapi dan memilah, harus ngelencer ke mana. Beberapa saudara yang
memang masih sering ke rumah untuk ngelencer tetap ke rumah. Tapi pada dasarnya
dalam hati kecil, sudah tidak etis. Saya hanya menunggu di rumah. Saya yang
seharusnya melakukan kunjungan balasan. Masih belum bisa melaksanakan angan.
Lebaran pertama tanpa bapak, jika dibahas kegagapannya jelas
sangat gagap. Sudah tiga puluh kali lebaran selama hidup, biasanya hanya menunggu
dilenceri di rumah oleh saudara-saudara sepupu. Sejak saat ini, harusnya
sudah tidak lagi menunggu. Harus berkunjung.
Lebaran Pertama Tidak Bisa Minta Maaf ke Bapak
Sebelum menikah, tidak pernah ‘sungkem’ ke Bapak Ibu. Minta
maafnya biasa, tanpa bersimpuh. Salim cium tangan sambil berucap dalam bahasa
Jawa: aku njaluk sepuro kabeh salah luputku. Teks ini adalah template
permintaan maaf yang diucapkan bapak kepada saudara-saudaranya yang lebih
tua. Saya tinggal kopi paste saja. Kemudian dijawab bapak, ‘yo tak
sepuro kabeh’. Meskipun tanpa prosesi sungkem, tapi urutannya selalu bapak dulu. Kemudian minta maaf ke ibu. Dengan template
permintaan maaf yang sama. Ibu menjawab permintaan maaf, dengan pemberian
maaf. Tapi tidak hanya itu, ibu selalu menambahnya dengan rapalan doa yang
diawali dengan kata mandar. Dalam bahasa Jawa. Yang panjang. Yang
intinya adalah sukses nduyo akherat.
Setelah menikah, sungkem minta maaf kepada Bapak dan Ibu
sudah ada ndeproknya. Bukan lebai tiru-tiru yang ada di media. Tapi saya
merasa memang berat menjadi kepala rumah tangga. Menjadi bapak. Sudah selayaknya
bersimpuh, di depan bapak dan ibu. Sambil meminta maaf. Permintaan maafnya
masih dengan template kalimat yang sama.
Tapi, di dua lebaran terakhir usia bapak, kalimat jawaban
bapak berubah. Menjadi: Tak sepuro kabeh dusamu, sing wis mbok lakoni karo
sing durung mbok lakoni.
Mengingat ucapan bapak itu, saya menjadi tenang. Karena
memang banyak salah kepada bapak, setelah lebaran. Tanpa sempat meminta maaf
secara langsung dengan ucapan hingga kematiannya. Kesalahan-kesalahan yang
membuatnya tidak nyaman saat mbarengi ke kamar mandi. Saat mengambilkan minum.
Saat mbarengi jagongan tapi akhirnya saya yang tertidur pulas di sampingnya.
Lebaran tahun ini, sudah tidak bisa lagi minta maaf ke
Bapak. Maka di hari pertama lebaran, hanya bisa mendoakan bapak. Tidak cukup hanya
dari rumah. Harus menapak tilasnya, di pemakaman. Mendoakan yang terbaik.
Mengajak serta anak istri.
Sungkem....
Posting Komentar untuk " Lebaran Sungkem Bapak"
Komentar bisa berupa saran, kritik, dan tanggapan. :)