Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hati yang Marah Ketika Salah Bicara Tanah

 Tulisan kali ini adalah tulisan sekenanya saja. Tentang terusiknya hati ketika mendengar --siapapun itu yang mengatakan-- ucapan yang salah dan menyepelekan bahkan mengatakan hal yang 'sok tahu' tentang asal-usul dan sejarah perjuangan tanah di Dusun Mangaran. Meskipun tidak dapat dikatakan bahwan tanah di Dusun Mangaran adalah perjuangan yang berdiri sendiri. Ada banyak aktor, ada banyak perjuangan, ada banyak pengorbanan yang meliputinya. Bersama dengan tanah-tanah lain, yang berada dalam satu kesatuan tanah eks-HGU. 

Saya selalu merasa marah ketika ada yang mengatakan bahwa 'tanah diberi negara'. Mungkin memang iya secara administratif begitu. Tapi 'pemberian' ini bukan dalam rangka 'rasa sayang pemberi kepada anak-anaknya'. Ini adalah hasil 'merebut', memperjuangkan 'hak atas tanah'. 

Memang tidak bisa menceritakan dan menggambarkan secara runut perjuangan tanah ini berdasarkan bukti dokumen. Itu sudah banyak dilakukan oleh sarjana-sarjana yang beberapa sempat saya baca di Perpustakaan Universitas Jember. Saya tuliskan saja sekenanya, seperti halnya orang yang sekenanya 'menuduh' tanah kami sebagai 'tanah pemberian', tanah 'tidak beli', dan 'tanah tidak punya legalitas'.

Karena menurut Gus Baha, ada kalanya cangkem elek harus dilawan dengan cangkem elek. Yang penting jangan sampai misuh. 

Jika ada yang mengatakan bahwa tanah kami tidak beli. Mungkin iya. Saya tidak pernah beli. Tapi sudah ada jual-beli. Bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Begitu menurut penuturan Bapak saya, yang memang lahir di zaman Belanda. Saya percaya hal itu ada. Karena menurut penuturan Bapak, tanah Kakek awalnya ada di bagian utara pemukiman, yang sekarang dibangun kanal irigasi. Tapi beberapa tahun sebelum pembangunan itu, tanah ditukar guling dengan tetangga. Dengan alasan, biar kumpul dengan Kakaknya Mbah Hasbi, agar tidak terpisah dengan si tetangga itu. 

Hal ini menunjukkan bahwa di masa itu sudah ada kepemilikan. Sudah ada batas dan kesepakatan bersama bahwa, 'ini tanahmu, dan ini tanahku'. Dengan begitu, sudah ada hak milik, sudah ada tukar menukar tanah. Meskipun tidak berupa jual beli dengan surat perjanjian. 

Saya memang tidak pernah beli, karena memang tidak punya cukup uang untuk beli. Mungkin 'orang luar' Dusun Mangaran atau orang luar tanah eks-HGU juga tidak pernah beli. Diberi. Oleh kakek atau buyutnya. Sama dengan itu. 

Perkara surat menyurat, memang tidak pernah ada. Meskipun secara samar dikatakan bahwa tanah di tempat kami, adalah tanah 'pemajekan'. Pernah bayar pajak tanah. Berarti pernah menjadi hak milik. Tapi atas konspirasi penguasa waktu itu, surat pajak tanah ditarik semua, katanya untuk diganti baru. Ternyata, akhirnya tidak pernah dimunculkan surat pajak baru. Sejak saat itulah, tanah kami kehilangan legalitasnya. 

Tanah kami juga tidak pernah dicatat dalam buku catatan tanah desa. Tidak pernah ada di Krawangan Desa apalagi dalam buku C desa. Kami dianggap 'penumpang'. Orang yang menumpang di atas tanah negara. Baik secara administrasi anggap saja begitu. Karena ada di area perkebunan Belanda, jadi tanah kami harusnya milik negara. Kesimpoulannya sederhana saja, negara --melalui oknum-oknumnya-- telah melanjutkan penjajahan atas tanah milik rakyatnya. Bukankah Belanda itu penjajah yang diusir oleh Bangsa Indonesia? 

Sementara Indonesia menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945 dan Belanda baru benar-benar meninggalkan Indonesia, juga Dusun Mangaran pada 1950. Setelah 'pemberian kemerdekaan' oleh Belanda. Nah, di antara tahun 1945 dan 1950 itu terjadi Perang Kemerdekaan. Yang juga melibatkan orang-orang dan pemuda-pemuda Dusun Mangaran --tentu juga dusun-dusun lain. Di antara mereka ada yang melanjutkan karir, sebagai anggota Angkatan Darat. Ada nama Pak Arbian dan Pak Nurali, pejuang yang jadi tentara.

Banyak juga, yang jadi pejuang, tapi tidak jadi tentara dalam militer pasca-Indonesia merdeka. Salah satunya adalah Pak De Sujak. Kakak kandung bapak saya. Sujak ini adalah Kakek Ustaz Bukhori dari jalur ibu. Juga kakek buyut Mas Fajar -- Pemangku RF Indo Official youtube. Ada cerita bahwa, di zaman perang kemerdekaan itu, Sujak tidak pulang. Dikabarkan ikut 'nyerbu' tangsi Belanda di wilayah Kaliwining, Rambipuji.

Nenek saya khawatir, menanyakan kabar anaknya itu pada Kakek, Mbah Hasbi.

"Sujak engko pas melu nyerbu." Mbah Rumani, --nenek saya, menanyakan pada Mbah Hasbi. Sementara Mbah Hasbi menjawab dengan tenang.

"Biyen Kanjeng Nabi yo perang." 

Kisah-kisah singkat ini, menunjukkan bahwa orang-orang Dusun Mangaran juga ikut berjuang. Mengusir penjajah Belanda, dari Tanah Indonesia, pada 1950. Sebelum itu, ada saja orang-orang Belanda dan orang pribumi pro-Belanda yang ada di loji-loji perkebunan tembakaunya yang ada di Kaliwining. 

Sementara pada 1960, setelah diterapkan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) ada pencatatan tanah besar-besaran. Tanah kami tidak masuk dalam pencatatan buku tanah Desa Klompangan --Sebelum ada Desa Sukamakmur, Dusun Mangaran, Curah Kendal, Curah Rejo, adalah bagian dari Desa Klompangan. Karena termasuk dalam area perkebunan yang dilaporkan sebagai aset negara yang sedang diberikan Hak Guna Usahanya kepada perusahan perkebunan negara. 

Rentang antara 1960 sampai dengan 1990-an saya yang masih belum tahu perkemanan sejarah tanah Mangaran dan eks-HGU yang lain. Mungkin harus baca sejarah lagi. Di tengah-tengah saya menulis ini, saya mendapatkan referensi yang bersumber dari Wikipedia.id dari Cataan Akhir Tahun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Tahun 2017. Di situ sebutkan kronologis singkatnya.

1970 PTPN mendapatka Hak Guna Usaha di area bekas perkebunan swasta Belanda. Yang luasnya lebih dari tiga ribu hektar. Salah satunya ada di dusun Mangaran. Karena sudah 'kalah' maka perjuangan kembali diusahakan oleh para tokoh-tokoh petani untuk 'meminta hak milik'. Hak atas tanah yang memang sudah dikuasai.

Menurut catatan di Wikipedia tersebut, "Tujuh tokoh petani dipenjara pada tahun 1979 dan beberapa petani lagi dipenjara pada tahun 1981-1983". Saya tidak tahu siapa saja. Tapi berdasarkan cerita dari bapak, ada nama Pak Imam Cangkring yang dipenjara. Tokoh petani, pejuang tanah.

Salah satu peristiwa yang sering diceritakan oleh Bapak adalah, tumpah ruahnya rakyat di tanah Eks-HGU ini di Mapolsek Rambipuji. Meminta salah satu Pejuang Hak Milik Tanah, warga Dusun Curah Kendal yang ditahan oleh polisi. Seketika dengan massa yang tidak begitu banyak, menduduki jalan raya di depan Polsek Rambipuji. Duduk dalam arti sebenarnya. Bersila  di tengah jalan. Meminta rekannya yang ditahan untuk segera dibebaskan. Tidak berteriak, tidak orasi. Duduk saja. Tapi kemacetan yang ditimbulkan, kabarnya sampai ke kecamatan Tanggul. 

Menghindari kericuhan yang lebih mengkhawatirkan, akhirnya polisi melepaskan pejuang hak milik tanah untuk dibebaskan. 

Tidak sedikit pula, pejuang-pejuang tanah yang harus lari, diburu, diintimidasi, bahkan dipukuli. Ketika memperjuangkan hak atas tanah. Belum lagi biaya, modal, perjuangan yang harus dikeluarkan untuk mengurus administrasi, biaya transport ke Jakarta --lobi-lobi dan minta dampingan orang-orang yang peduli pada perjuangan tanah. Salah satunya ke Gus Dur. 

Sampai sekarang, masih ada mesin ketik di rumah saya. Mesin ketik yang digunakan untuk memperjuangkan hak milik atas tanah. Bapak saya yang beli. Dengan uang pribadi. Sudah tidak terpakai, mungkin jika dijual harganya rendah, tapi nilainya sangat tinggi. 

Mungkin benar jika ada yang mengatakan bahwa tanah di Dusun Mangaran, Curah Kendal, dan Curah Rejo tidak didapat dari membeli. Karena oleh negara tidak diakui eksistensi kami. Kami tidak membeli dari negara dan penguasa waktu itu. Karena penguasa waktu itu merampok dari kami. Kami merebut, kami memperjuangkan hak milik. Yang harus dibayar dengan keringat, air mata, bahkan darah.

Ini adalah tulisan kemarahan, sehingga berantakan. Intinya jangan usik. Agar kami tetap asyik!

Posting Komentar untuk "Hati yang Marah Ketika Salah Bicara Tanah"