Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Saya Memanggilnya Mak Yun | Fiana Memanggilnya Mbaiyun

 Mak Yun, begitu saya memanggilnya. Karena orang-orang memanggilnya Mbok Yun. Namanya sendiri adalah Misnatun. Almarhum Bapak, selalu memanggilnya dengan Tun atau Misnatun. Yun, adalah nama anak pertamanya --Sri Wahyuni. Saya memanggilnya Mbak Yun. 

Jadi ada Mbak Yun anaknya Mbok Yun. Tentu saja suaminya Mbok Yun ini, dipanggil Pak Yun. Begitulah pemanggilan dan penyebutan nama di lingkungan penutur  Bahasa Madur, di Jember. Salah satunya di Dusun Mangaran ini. 

Saya memanggilnya Mak Yun, karena dia yang katanya menggendong saya, momong saya, saat saya masih kecil. Memang usianya sepertinya seumuran dengan ibu saya. 

Di Mangaran ini, ibu dipanggil Mbok Timbul. Karena saya anaknya. Padahal anak Mbarepnya namanya Subur. Tapi bukan kelahiran Mangaran. Maka tetangga-tetangga memanggilnya begitu. 

Kalau Mak Yun dan Ibu saya bercakap dan saling memanggil, maka langgung menggunakan nama anak. 

"Yun, teko ndi?" Ibu biasanya berkata dalam bahasa Jawa. Kelahirannya Wuluhan. Jowo nyel. 

"Ariya, Mbul. Deri kon Pik." Mak Yun biasanya berkata dalam bahasa Madura. Di keluarganya memang menggunakan bahasa Madura. Dalam percakapan sehari-hari. 

Panggilan Yun bukan untuk anaknya. Panggilan Mbul, bukan untuk Timbul. Tapi untuk masing-masing ibunya. 

Mak Yun atau Buk Yun, begitu juga anak dan cucunya memanggil. Tidak memanggil "Mbah Yun". Mungkin juga banyak di tempat lain begitu. 

Neneknya dipanggil Mak --ikut-ikutan ibunya. Sementara, ibunya dipanggail Ibu atau Bunda. Tapi ada yang memanggil Mbah ke Mbah Yun. 

Dialah Fiana Muslimatul Aisyiyah, memanggilnya Mbah Yun, lebih tepatnya pelafalan Fiana adalah: mbaiyun. 

Setiap Mak Yun main ke rumah --memang rumah kami berdekatan, hanya berjarak 5 rumah yg berdekatan, Mak Yun selalu menggoda Fiana. Kadang Fiana mau bermain bersama Mbaiyun, tapi yang sering ketika mendengar suara Mbaiyun memanggil namanya, Fiana lari bersembunyi sambil teriak, "ono Mbaiyun. Sembunyi." Lalu tertawa. 

Kalau Mbah Yun lagi ingin menggoda Fiana, biasanya Fiana dihampiri, lalu teriakannya akan lebih nyaring. "No.. Mbayun... No. Tidak boleh."

Sekarang, Minggu, 10 November 2024, Mak Yun sudah tidak bisa menggoda Fiana. Mak Yun telah meninggal di Rumah Sakit Bina Sehat (RSBS), tepat 03.10. Saya mendapatkan kabar duka tersebut dari Perawat Ruang Ihsan RSBS. 

Pesan WA itu ternyata  dikirim pukul 04.11, setelah lebih dari 15 kali panggilan dari RSBS tidak saya angkat. Saya baru membacanya karena baru terlelap, baru pulang Pukul 1 dini hari, dari UGD RSBS. 

Setelah subuh, saya dan Ibu langsung ke rumah Mak Yun. Masih terkunci. Pak Yun masih di RS. Kedua cucunya baru pulang menjelang pukul 03.00 dinihari. 

Tentu kami semua terkejut. Sekitar  jam 08.00 malam, Pak Yun datang ke rumah. 

"Mbul, Mak Yun nggoleki awakmu." Kata Pak Yun.

 Saya yang telah dapat kabar sejak siang dari Bik Toriya, bahwa Mak Yun sakit, sampai dibelikan obat pereda nyeri. Tidak biasanya menyuruh Bik Toriya, biasanya beli sendiri. Pasti agak parah. 

Mak Yun ternyata sambatan, dadanya sakit. Perutnya sakit. Sulit bernafas. Masih bingung. Sakit parah katanya. Mau dibawa ke RS atau cukup domintakan air doa, pada tokoh agama di kampung kami. 

Saya sarankan, langsung dibawa ke Rumah Sakit. Tapi nunggu anak dan cucunya. Singkat  cerita, anaknya datang. Cucunya datang. Membawa bekal seperlunya. 

Di dalam mobil, masih Mak Yun didampingi 2 orang. Satu anak dan satu cucunya. Seperti saat masih di rumah, Mak Yun nyebut, "Ya Allah... Ya Allah... Ya Allah.." 

Sampai di Puskesmas Ajung, oleh perawat yang jaga di IGD, disarankan langsug ke UGD Rumah Sakit. Setelah memastikan bahwa BPJS PBI nya aktif, langsung masuk mobil lagi. Menuju ke RSBS. Pertimbangannya, jarak cukup dekat. Akses bisa lewat dalam. Jika keluarganya mau menjenguk, tanpa harus lewat jalan raya yang besar. 

Sampai di UGD RSBS, langsung ditangani. Pak Yun dan satu cucunya yang lain, sudah menyusul. Cukup lega. Sudah tidak terlalu sambat. Pernafasannya dibantu selang oksigen di hidungnya. 

Maka setelah saya anggap stabil, saya pulang. Pukul 01.00 dinihari itu. 

***


Ternyata saya salah. Mak Yun semakin drop. Dan akhirnya meninggal pukul 03.10 itu. Saya jadibingat beberapa ucapan nakes. 

Saat di Puskesmas, perawat bilang, "segera ya, Pak. Pucet soalnya." Tentu ini adalah kode keras. Ini gawat darurat.

Lalu nakes di UGD RSBS, sambil setengah berteriak berkata pada rekannya, "Ibu Misnatun, nyeri dada!" Ini tentu kode keadaan gawat darurat juga. 

Saya jadi ingat, tepat seminggu sebelumnya, hari Sabtu, 2 Maret 2024, Mak Yun sakit dada parah. Berkeringat sampai basah kuyup bajunya. Ini berdasarkan cerita Mak Yun pada Mak Las, disampaikan ke saya.

Mak Yun, Minggu 3 Maret 2024 --seminggu sebelum meninghal. Di teras belakang Rumahnya


Maka pada Minggu sore, 3 Maret 2024, saya melihat Mak Yun. Ke rumahnya. Ciri-ciri yang diceritakab Mak Yun kepada Mak Las, sama persis dengan ciri serangan Jantung yang dialami Kakak. Sekian tahun lalu.

1. Dada nyeri sampai punggung.

2. Jantung seperti diremas-remas. 

3. Keringat parah, sampai semua baju basah. 

Secara medis, ini ciri-ciri serangan jantung. Tapi sebagai non-nakes saya tidak berani menyampaikan langsun pada Mak Yun. Hanya berkata, "nek lara maneh. Kondoho aku Mak Yun. Nek ate nang Rumah Sakit, tak terno."

"Enjek la, cong. Nyaman lah. Tak sakek. Mon berik sarah sake'en."

Lalu, pasa minggu sore itu, Mak Yun bercerita tentang tanaman pisangnya. Buahnya landung. Payu larang. Kebetulan juga ada sagang pisang, mau membeli pisangnya. Laku 80 ribu. 

Mak Yun, yang pasti membantu di rumah saat ada kerepotan apapun itu, sekarang sudah meninggal. Bersamaan dengan rintik sepanjang malam hingga pagi tadi. 



Sakitnya, meninggalnya, saat memandikannya, sampai menyolati dan memakamkannya, diiringi oleh tangisan langit yang rintik. 

Allahummaghfirlaha warhamha waafiha wa'fu anha


Posting Komentar untuk "Saya Memanggilnya Mak Yun | Fiana Memanggilnya Mbaiyun"