Sastra dan Intelejen | Intervensi CIA dalam Sastra dan Kebudayaan
Saya hanya ‘mengamati’ perkembangan sastra Indonesia dari
bangku kuliah. Lebih sempit lagi, hanya dari mata kuliah sejarah sastra. Lebih
sempit lagi, baru paruh kedua mata kuliah tersebut bisa sedikit mengerti maksud
perkuliahannya. Parah. Memang sangat parah.
Memang sih, sudah sejak itu (saat kuliah sejarah satra
plus ditambah mata kuliah wacana) saya mengetahui bahwa tidak ada wacana yang
netral. Termasuk wacana sastra. Semua karya membawa ide.
![]() |
Sastra dan Kaitannya dengan Intelejen AS |
Tautan alias pranala itu saya dapatkan dari teman
facebook pemilik tokoh Kang Sabar. Dia membagikan pranala tersebut sambil
memberikan catatan (caption) "Sampeyan masih berpikir dunia
hanya selebar daun kelor, Kang?" lempar Kang Sabar di ujung lintasan.
Dalam tulisan di vice.com
Indonesia itu, dijelaskan bahwa agen intelejen Amerika Serikat (CIA) menggelar
operasi di seluruh penjuru dunia. Khususnya saat perang dingin berlangsung, CIA
memengaruhi penulis-penulis di negara-negara lain agar menunjukkan citra positif
AS. Yang disasar adalah negara-negara penganut
komunis atau yang ada komunisnya.
Penulis di negara-negara
komunis didanai oleh CIA agar menampilkan sisi positif Amerika. Penulis yang
terlibat tidak sepenuhnya sadar telah menjadi ‘agen’ CIA di bidang kebudayaan,
khususnya kesusastraan. Tidak hanya membantu dana penerbitannya, tetapi juga
membantu ‘mengolah’ isu. Jadi, selain melalui karya sastra juga melalui
diskursus-diskursus sastra.
Ketika membaca artikel
tersebut, saya jadi ingat mata kuliah di kampus. Memang bukan jurusan sastra,
melainkan program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Tempat kuliah
calon guru bahasa Indonesia. Mata kuliah yang diampu oleh Dr. Akhmad Taufiq
(waktu itu belum doktor).
Lahirnya sastra Indonesia
modern ditandai dengan dibentuknya Balai Pustaka oleh pemerintah kolonial
Belanda pada tahun 1920. Balai Pustaka menerbitkan karya sastra yang ‘pro’
penejajahan. Roman yang paling terkenal zaman itu adalah Sitti Nurbaya. Dalam novel tersebut ada tokoh Datuk Meringgih,
lelaki tua rentenir yang menukar piutangnya dengan gadis cantik bernama Sitti
Nurbaya. Tokoh antogonis. Dalam novel tersebut juga disebutkan bahwa Datuk
Meringgih adalah seorang pemberontak. Dalam perspektif bangsa Indonesia,
seharusnya Datuk Meringgih disebut ‘Pejuang’. Itulah kekuatan sastra. Tak
heran, CIA juga menggunakannya sebagai ‘senjata’ dalam peperangan ideologi
dunia.
Sejak kuliah dan
mengetahui adanya geger sastra antara
sastrawan Lekra dan Manikebu. Sejak kuliah juga saya berada pada posisi netral
(maksudnya tidak mendukung Lekra tetapi juga tidak anti-Lekra). Meskipun
kenetralan saya tidak berarti apa-apa. Toh peristiwa itu sudah terjadi pada
1960-an.
Pada saat itu, Lekra punya
jargon sangar Seni untuk Rakyat,
sementara kelompok yang berseberangan punya pandangan bahwa Seni untuk Seni. Kelompok anti-Lekra ini
yang mengeluarkan Manifes Kebudayaan. Kelompoknya kemudian disebut Manikebu.
Pertentangan antara
sastrawan Lekra dan Manikebu terjadi pada 1960-an. Waktu yang sama berdasarkan
fakta yang ditulis oleh Fink, bahwa CCF (Badan bentukan CIA), melaksanakan
operasi intelejen di bidang Kebudayaan getol beroprasi pada 1960 – 1970-an.
Sebelum membaca artikel
pada vice.com tersebut, saya mengira yang ditunggangi adalah Lekra saja. Jelas,
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) merupakan sayap organisasi kebudayaan milik
Partai Komunis Indonesia. Pasti Lekra dibiayai PKI, pasti juga ada hubungannya
dengan Uni Soviet kala itu. Pikir saya saat kuliah.
Eh, tibake, Manikebu juga ‘mungkin’ dimanfaatkan oleh CIA. Amerika
Serikat, melalui CIA-nya sedang perang dingin, perang pengaruh, perang ideologi
dengan Uni Soviet. Indonesia, pasti juga menjadi medan pertempuran mereka.
Otomatis, agen-agen rahasianya juga.
Posisi saya setelah
membaca artikel penelitian keterlibatan sastrawan sebagai agen CIA, menambah
kenetralan saya. Sekali lagi, netral
tidaknya saya adalah sesuatu yang tidak penting. Untuk mengetahui isi lengkap
artikelnya silahkan kunjungi alamat situs yang sudah saya tulis di depan.
Yang menjadi penting lagi
adalah, mengapa CIA sampai maunya repot-repot menyusup ke dunia kebudayaan dan
kesastraan. Waktu itu (1960-an), bacaan dan sumber informasi masyarakat dunia
adalah melalui karya sastra.
Karya sastra adalah
hiburan bagi mereka yang berdampak massif. Juga menjadi senjata yang ampuh
karena pembacanya (mungkin juga penulisnya) tidak sadar jika tempatnya menjadi
medan pertempuran. Bacaan yang sedang dibaca juga merupakan senjata. Karena
merasa tidak diajak secara langsung, propaganda melalui sastra menjadi sangat
efektif. Orang menjadi terpengaruh dengan sangat mudah dan ‘seolah-oleh’ sadar.
Padahal sebenarnya sedang dihipnotis
oleh propaganda yang sangat besar.
Apakah sekarang sudah
tidak ada operasi intelejen di bidang sastra? Jawabanny: Saya tidak tahu.
Tetapi ada kemungkinan operasi intelejen dalam bidang sastra masih berlanjut.
Bukan hanya CIA, tetapi juga agen-agen intelejen lainnya (mungkin juga BIN.
Hehehe).
Tetapi yang dijadikan ‘senjata’
bukan sebatas karya sastra dan penulisnya. Jika dulu (1960-an) para penulisnya
juga ‘terlibat’ sebagai agen, mungkin sekarang penulis tidak direkrut menjadi agen,
melainkan menjadi sasaran operasi. Rasanya tidak mendukung kebijakan
(katakanlah) Amerika Serikat, tetapi karean informasi yang diterima adalah yang
menguntungkan Amerika Serikat, maka karyanya juga ‘dengan tidak sadar’
menunjukkan citra positif Amerika Serikat.
Kini masyarakat dunia
tidak lagi dapat dengan masif dipengaruhi melalui karya sastra, karena
pembacanya yang ‘sedikit’ dibanding para pembaca media sosial. Mungkin sekarang
intelejen besar dunia sedang bertarung di dunia maya. Coba saja lihat, berita
dan video viral di jagat dunia maya adalah ‘hal-hal tidak penting’.
Hal viral di jagat dunia
maya yang saya ingat antara lain: gangnam
style; Messi dari Afganistan; PPAP; dan Om Telolet Om. Saya jadi
mencurigai, viral-nya hal-hal tersebut adalah sebuah operasi intelejen tingkat
tinggi. Hal-hal itu (kecuali kostum
Messi dari Afganistan) adalah sesuatu yang ‘tidak penting’.
Gangnam Style, ya hanya joget-joget. Begitu pula dengan
PPAP. Yang lebih tidak penting adalah om
telolet om. Tanda tanya besar dalam diri saya. Om Telolet Om jadi viral
dunia. Pentingnya apa...
Saya berpendapat, itu
adalah kerja intelejen untuk mengalihkan isu penting. Bukankah itu lebih mudah.
Tidak sesulit mengalihkan isu melalui sastra yang harus menguasai penulis,
editor, dan penerbitannya. Cukup kuasai pemilik internet, angkat isu yang ingin
di-booming-kan. Cukup dengan
alogaritma situs media sosial. Jadilah! Jadi.
Masihkan sastra bersifat katharsis alias menyucikan jika sudah
disusupi kepentingan intelejen? Bahkan ada penulis yang menjadi agen.
Entahlah....
(*mun/ Sebenarnya saya
tidak cukup mengerti ini tulisan tentang apa)
Posting Komentar untuk "Sastra dan Intelejen | Intervensi CIA dalam Sastra dan Kebudayaan"
Komentar bisa berupa saran, kritik, dan tanggapan. :)