Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kulo Mondok Teng Balung Kulon | Kalimat yang Membuat Saya Luluh

 Ini tentang kejadian kecil, di tengah rangkaian ngelencer Lebaran 2023 ini. Seperti ritual tahunan lebaran setelah menjadi mantu Pak Majid tahun-tahun sebelumnya, tahun ini hari pertama sowan mertua yang dilanjutkan doa bersama keluarga besar Mbah Naim --Kakek Istri dari jalur ayah mertua. Doa bersama di beranda Masjid Baiturrohman, Dusun Banjarsari Desa Gunungsari Kecamatan Umbulsari. Tanpa M. 

Suasana Tawasul dan Doa Bersama untuk Para Leluhur Keluarga Besar Mbah Naim

Sosialisasi Pemilu, Sebagai Bukti Keluarga Besar Mbah Naim Cinta NKRI


Tahun ini, doa tawasul dipimpin oleh Pak De Kaji Nur Kholis. Dalam pesannya beliau mengingatkan agar kami semua, anak cucu cicit dan para menantu harus melanjutkan riyadoh Mbah Naim dan Mbah Putri. Agar anak turunnya menjadi orang-orang soleh, hidupnya berkah dunia akhirat, hingga husnulhotimah kelak. 

Dalam tawasulnya, beliau Pak De Kaji Nur mendoakan seluruh leluhur. Mulai dari Mbah Mertoprawiro (orang tua Mbah Naim), Mbah Naim, Pak De Samsul Arifin yang sudah meninggal, Para Besannya Mbah Naim. Tak lupa juga difatekahi juga para besan anak-anak Mbah Naim, termasuk Bapak Saya, Almarhum Pak Yakub. 

Bukan sekadar kumpul-kumpul dan makan-makan seperti makna Idulfitri. Idulfitri dari id (عيد) yang artinya hari raya/perayaan dan al-fitr yang berakar sama dengan iftar (makan/buka puasa). Idulfitri, artinya hari raya untuk makan-makan.  Idulfitri di kediaman Mbah Putri/Mbah Naim, adalah makan-makan yang didahului dengan doa bersama. 

Mendoakan semua leluhur dan saudara yang sudah meninggal semoga mendapat tempat terbaik di hadirat Tuhan. Mendoakan yang sedang sakit semoga segera diberi kesembuhan. Mendoakan semua yang hadir dan saudara semoga mendapat kemudahan rejeki. 

Baru setelah tawasul oleh Pak De Kaji Nur, acara dilanjutkan dengan pembacaan tahlil yang dipimpin oleh Almukarram Kiai Muhammad Muchdlori. Acara dilanjutkan dengan sesi foto bersama. Acara yang riuh karena para bocil-bocil, para cicit dari Mbah Naim, bertingkah polah yang lucu-lucu. Termasuk salah satunya Lutfiana Muslimatul Aisyiyah. 

Setelah foto bersama keluarga besar, foto bersama keluarga besar masing-masing anak menantu Mbah Naim.

Setelahnya dirangkai dengan Sosialisasi Pemilu, dari penyelenggara pemilu. Ingat, pemilu dilaksanakan 14 Februari 2024.

Setelah semua rangkaian selesai, acara bergeser. Dari beranda Masjid Baiturrohman, bergeser ke Rumah Lik Dewi yang juga rumah Mbah Putri, masuk ke acara inti: Makan. 

Ada macam-macam lauk dan makanan. Yang jelas ada peyek kacang yang mantap. Lik Almukarrom M. Muhdlori yang bikin peyek itu. Juga ada es buah yang segar. Saya habis tiga gelas. 

Baru setelah makan, suara azan bertalu. Mengumandang dari sepiker masjid, yang berjarak lima langkah dari rumah Mbah Putri. Diikuti dengan syiir merdu nan syahdu yang dikumandangkan oleh Lik Parman. Menantu termuda Mbah Naim. 

Dari sekian menantu maupun cucu menantu, sepertinya saya seorang saja yang tidak berbakat. 

Setelah salat duhur, perjalanan dilanjutkan ke Glundengan, desa di Kecamatan Wuluhan yang secara teritorial lebih dekat ke Balung. Saat perjalan dari Umbulsari ke Balung, sempat ada insiden kecil. Di sebuah perempatan sebelum Pondok Pesantren Baitul Arqom, saya mengurangi kecepatan. Tetapi ada motor di belakang yang nutul agak keras. Bruk. 

Dilihat dari spion tengah, ada dua motor wajahnya agak panik. Masih sangat muda. Saya menepi agak jauh dari lokasi kejadian, cari sempadan jalan yang agak luas untuk parkir. 

Ketika saya menepi, dua motor juga menepi. Satu Vario dan satu GL Max (kalau gak salah). Memang tidak begitu memperhatikan. 

Saya turun, bersama Diki (Suami dari adik perempuan istri). Dua lelaki tinggi besar --tentu saya yang sangat besar. Empat anak muda yang naik dua motor wajahnya agak panik. 

"Piye penake iki?" Saya tanya pada mereka. Setelah melihat ada goresan ban dan lekukan di bagian belakang mobil. Cukup jelas goresannya. Pengendara Vario dengan sopan menjulurkan tangan. Meminta maaf. Dengan sangat sopan menggunakan bahasa jawa krama, meminta "damai". Padahal tidak sedang berperang, lagian saya bukan polisi. Kok bisa-bisanya minta damai. 

Wajahnya cukup memelas, awalnya saya sangat mangkel. Si pengendara vario mengaku remnya tidak pakem.

"Ngapunten pedah kulo rem'e mboten cakram." Padahal saya lihat remnya cakram bukan tromol, cakram bagi mereka mungkin maknanya "pakem" bukan "bentuk cakram/piringan".

Saya masih marah dan etok-etok marah. Jadi tidak saya bahas. Dia menawarkan uang seratus ribu. Cukup menggiurkan. Saya hanya menanyakan dia orang mana. Tidak menanyakan namanya. 

Dia mengatakan, "kulo tiang Jambearum." Sudah mak dek mak tratap di hati saya. Jambearum, ada saudara, ada tetangga, ada teman yang tinggal di Jambearum. Entah mengapa saya merasa "dekat".

Mungkin melihat tampilan saya dan Diki yang bersarung, ditambah supluk andalan saya yang menguning di bagian bawah dan sering disangka lumuten, tanpa saya tanya si pengendara vario penabrak kendaraan saya berkata, "Kulo mondok teng Balung Kulon."

Mendapat penjelasan itu dengan sangat sopan, biarkan saja goresan hasil tabrakan kecil santri pondok pesantren di Balung Kulon yang saya tidak tahu nama anaknya, tidak tahu juga nama pondok dan kiainya, menjadi saksi bahwa saya memaafkan penabrak itu karena tawasulan ke pondok pesantren. 

Saya maafkan dia karena sudah sopan, tidak kabur setelah nabrak, ngaku mondok. Saya langsung mengatakan, "yo wis simpenen duitmu. Aman wis."

Saya lupa berpesan: mondoklah yang benar. Adabmu sudah baik, cuma rem motormu yang perlu diperbaiki. ***

(Mun)

Posting Komentar untuk "Kulo Mondok Teng Balung Kulon | Kalimat yang Membuat Saya Luluh"