Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Sepeda dan Kenangan dengan Bapak

 Hari ini, kembali mancal dengan jarak yang cukup jauh. Sekitar lima kilometer, diukur dengan google map. Jarak antara rumah ke alun-alun Rambipuji. 



Memang bukan pertama kalinya mancal ke Rambi. Dulu, saat masih SD, hamlir tiap minggu mancal ke Rambi. Tujuannya sangat jelas: main PS. Modal empat ribu, main empat jam. Berangkat jam setengah tujuh. Saya berangkat bersama teman-teman. Masing-masing maik sepeda, ada yang bmx, ada yang mini, ada yang bonceng berdiri. 

Setelah main PS, yang rentalnya ada di utara alun-alun Rambipuji keluar sangat silau. Kami masuk, masih pagi. Mantengin layar televisi tiada henti. Keluar sangat terik matahari. 

Lalu, kami mancal lagi. Sampai ke rumah masing-masing. Di perjalanan sambil janji untuk patungan lagi. Main PS lagi, seminggu yang akan datang. 

Mancal yang sangat berkesan dengan bapak, mungkin ini. Saat itu, masih SD. Kelas 4 kalau tidak salah. Rumah kami kemalingan. Motor bekas yang baru dibeli bapak sekian hari, dicuri orang. Motor Honda Astrea Grand hitam dengan stiker warna hijau. 

Waktu itu, yang baru saya ketahui setelah besar ini, bapak hendak pinjam motor ke sanak saudaranya, tapi tidak nemu. Akhirnya bapak bonceng saya, naik sepeda jengki. Dengan perlahan dikayuhnya sepeda. Mungkin bapak lelah, setelah tak muda lagi. Mancal sejauh itu. 

Sampai di loji, ketika ada rimbun pohon menutupi jalan. Bapak memelankan kayuh sepedanya.

"Iyup mbul... alon-alon." Begitu bapak membercandai. Mungkin agar tidak sedih. Setelah kemalingan. Padahal waktu itu dialah yang pasti sangat sedih. 

Di atas boncengan, sambil terus mengoceh tentang mesin uap yang semakin panas bisa semakin kencang, saya membandingkan dengan kecepatan kayuhan sepeda bapak. Entah bagaimana wajahnya waktu itu. Tentu saya tak bisa melihatnya. 

Di pasar Rambi, ternyata bapak membelikan sepeda. Sepeda mini, warna merah. Sangat besar untuk ukuran anak kelas 4 SD. Tentu saya sangat bahagia. Mungkin bapak juga. Melihat anaknya kegirangan. 

Dengan semangat, dinaiki sendiri. Mancal dari rambi. Bapak di belakang. Bapak harus ikut berhenti beberapa kali. Karena anaknya kelelahan mengayuh sejauh itu, dengan sepeda sebesar itu. 

Pasti bapak bahagia, melihat anaknya sangat semangat. Menutupi kesedihan. Kehilangan motor, dicuri di rumahnya. 

Sepeda dan bapak juga berkelindan. Saling berhubungan, saat saya sudah sekolah SMP. Baru beberapa hari sekolah, mancal naik sepeda jengki --karena sepeda mini terlalu berat kayuhannya menempuh jarak jauh rumah-jenggawah-, sudah ditabrak motor. Di depan Puskesmas Jenggawah saat saya memotong jalan untuk pulang. Benturannya cukup keras, garpu belakang ditabrak, tentu saja roda beserta garpunya  nekuk. Roda tak bisa berputar. 

Saya masih berdiri, penabrak langsung pergi. Mungkin karena melihat saya tidak apa-apa. Tetap berdiri menaiki sepeda. Tapi, setelah kejadian yang sangat cepat itu, saya tak bisa mengayuh atau menuntun sepeda. Roda tak bisa berputar. Baru setelah dibantu oleh seorang (mungkin) perawat puskesmas. Diinjak rodanya, untuk mengembalikan bentuk dan posisi roda. Akhirnya bisa berjalan. 

Masih ingat betul kejadian itu. Ada orang bersergam putih-putih, menginjak roda sepeda di depan puskesmas. Mas-mas yang tidak saya ketahui namanya. Yang atas bantuannya, saya bisa kembali mengayuh sepeda. Tentu dengan sangat mieing, tidak sempurna. 

Sampai di rumah, bapak sendiri yang memperbaiki roda dan rangka bayangan sepeda jengki itu. Dengan peralatan seadanya. Tidak dibengkelkan. Karena bapak lebih percaya kalau akan lebih presisi jika diperbaiki sendiri. Tentu saja karena diperbaiki sendiri dengan alan seadanya, memakan waktu cukup lama. Masih teringat, saat bapak memperbaiki rangka jengki, di bawah pohon mangga di depan rumah. 

Kenangan tentang sepeda yang hanya sekadar cerita dari bapak, ada yang sangat berkesan. Dua hal. Saat bapak dan temannta, Sapari Pak Ho, mancal ke Rambi setiap hari, untuk mengaji. Bapak adalah murid Kiai Mashur di Ranbipuji Kipas, alias Kidul Pasar. Suatu ketika, di tahun 60-an, saat takut begal jika pulang lewat jalur kaliwining loji, bapak memutar lewat mangli. Memang sangat jauh.

Berdua dengan Sapari, bapak adu balap. Bapak dengan semangat menirukan ucapan Pak Ho ini, "Tunggu, Kub. Sepatuku jatuh." 

Waktu itu, kata bapak "wong iso nganggo boso Melayu, disungkani. Rampok ae wedi." Jadi, Pak Ho Sapari sengaja menggunakan bahasa Melayu karena jatuhnya klompen alias bakiaknya di daerah sepi yang ditakutkan ada begal rampok. 

Sambil menceritakan itu bapak selalu tertawa, yang entah saya juga tidak bosan mendengar cerita berulang itu. "Mosok sepatu jatuh, Ri. Kan ditaleni." 

Cerita tentang sepeda yang masterpice adalah ini: Bapak mengayuh sepeda, dari Curah Takir, beli jagung. Untuk dijual lagi. Seberat hampir dua kuintal. Sejauh itu. Dengan medan seberat itu. Bapaj bercerita, setelah melalui tanjakan tinggi panjang di glantangan, bapak sudah merasa "sampai rumah". 

Itu dilakukan bapak, tiap hari, demi mencari rejeki. Dan aku tidak mau memanjangkan cerita itu. Karena terharu dengan beratnya pekerjaannya. Ini saja, air mata sudah menetes. Mengingat kisahnya, cintanya, perjuangannya. 

Semoga mendapat tempat terbaik di sisi-NYA.


Posting Komentar untuk "Sepeda dan Kenangan dengan Bapak"