Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Ngomong Sama Bona Apa Ngomongin Bona | Nama Sebagai Kata Ganti dari Sebuah Diskusi

Namanya Bona, saya lupa ini teman yang termasuk ditulis profilnya di blog pribadi ataukah tidak. Seperti teman-teman kuliah yang lain, Bona --lengkapnya adalah Febriana Tri Utami-- sangat layak dikisahkan. 


Bona ini teman yang baik. Mulai dari sudi memberikan dompetnya pada saya karena dompet yang saya miliki sangat memprihatinkan. Juga karena bersedia menjadi tim sukses saat saya menjadi calon Ketua HMP Imabina. Bona sukses menjadi tim, dan saya gagal menjadi ketua himpunana mahasiswa program studi Ikatan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.





Sebenarnya  jika dia mau mengisahkan kisahnya, tentu tak kalah menarik. Dia sudah mengabdi di daerah 3T (terluar, tertinggal, dan terpencil). Kini, dia sudah mengabdi sebagai ASN, sebagai guru di kota kelahirannya. 


Tapi dalam tulisan ini tidak hendak membahaa panjang lebar tinggi keliling maupun luasnya pengalamannya, biar dia sendiri saja. Dalam tulisan ini sekadar dibahas diskusinya tempo malam tentang kata ganti.


Diskusi melalui aplikasi perpesanan WhatsApp, sepertinya setelah Bona membaca tulisan tentang lirik lagu Aisyah Istri Rasulullah. Tulisan yang saya letakkan tautannya di status WA karena Nisa Sabyan sedang trending. Salah satu versi liriknya ada yang dari Nisa. 


Tapi tulisan ini juga tidak sedang membahas Nisa Sabyan dan Ayus. Itu perkara lain. Ada yang menyebutkan pelakor. Kalau tulisan pelakor ada sendiri dalam tulisan ini. 


Tulisan ini, seperti yang telah tertera di judul. Membahas tentang kata ganti. Bona telah mampu menyederhakan pembahasan. Penggunaan kata ganti yang tidak konsisten dalam lirik lagu Aisyah istri Rasulullah antara kata ganti "mu" dan "dia". 

Bona menyederhanakan istilah, lirik lagu itu tidak konsisten antara "ngomong sama Aisyah, atau ngomongin Aisyah". Itu istilah yang dipakai Bona. Sederhana, tapi benar-benar mengena dan pas.


Kalau ngomong dengan Aisyah, harusnya gunakan kata hanti -mu. Kalau ngomongin Aisyah harusnya menggunakan kata ganti -nya atau "dia". Dalam lirik lagu itu, digunakan dua-duanya. Itu letak ketidakkonsistenannya. 


Diskusi dengan Bona tempo malam juga membahas di luar ketidakkonsistenan itu. Tapi fenomena bahasa penggunaan kata ganti juga. Nama yang diri, misalnya nama: Bona, menurut Febriana Tri Utami, adalah sebuah kata ganti orang ketiga. Artinya orang yang tidak hadir falam pembicaraan.


Sementara bagi saya, nama bisa menjadi orang pertama, orang kedua, juga orang ketiga. Tergantung konteksnya. 


Konteks: saya sedang berhadapan dengan Bona.

Muntijo: "Bona sedang apa?" (1)

Bona: "Bona sedang diskusi." (2)


Dalam contoh di atas, nama "Bona" bisa menempati orang kedua (lawan bicara) setara dengan "kamu",  yang tampak pada kalimat pertama (1). Sementara pada kalimat kedua (2) menjadi kata ganti orang pertama atau yang berbicara yang setara dengan "saya" atau "aku".


Padahal sama-sama nama "Bona". Sementara dalam konteks Bona tidak hadir, juga bisa menjadi kata ganti orang ketiga, misalnya ketika saya berbicara dengan Cak Rat, sedang membicarakan Bona. 


Muntijo: "Bona iku kancaku, Cak."

Cak Rat: "Bonane Ardi iko, ta?"

Muntijo: "uduk."


Dalam konteks di atas, Bona menjadi kata ganti orang ketiga. Karena Bona tidak hadir dalam konteks pembicaraan. 


Tentu ini berlaku dengan nama yang lain. Semua nama diri bisa berlaku hal demikian, mau namanya adalah Bona, Cak Rat, Paijo, Tromin, ataupun Ababal. Berlaku hukum yang sama. Bahkan beberapa kata ganti dan sapaan kekerabatan pun mengalami perkembangan yang demikian. 


Kalau kita sedang berbincang dengan Pak Guru, misalnya, 

"Saya mau bertanya pada Bapak, saya kesulitan mengerjakan soal nomor 5." (A)

Lalu Pak Guru menjawab, "sebentar bapak lihat dulu." (B)


Pada kalimat A, sapaan Bapak setara dengan kata ganti "Anda". Semntara pada kallimat B, kata Bapak setara dengan kata ganti "saya". 


Tentu penggunaan kata ganti yang digantikan oleh sapaan ini memiliki tujuan. Seorang murid yang menggunkan bahasa yang lebih sopan daripada sekadar "Anda" apalagi "kamu". Sementara guru juga menggunakan kata "Bapak" agar muridnya terbiasa menggunakan kata ganti yang benar. Bukan hanya pada sang guru tapi juga pada orang lain yang harus dihormati. 


Menjadi fenomena bahasa pula ketika semakin banyak anak yang dipanggil "kakak" atau "adik" dalam keluarga. Bisa jadi kata sapaan kekerabatan ini menempati posisi yang sama dengan nama. Sehingga bisa menjadi orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. 


Mana yang benar? Seperti halnya ketika saat berdiskusi dengan Bona tempo hari. Menurut saya, asal digunakan dengan konsisten, itu akan menjadi fenomena bahasa yang dalat dideskripsikan. Bukankah bahasa memang bersifat dinamis. 


Bahasa Indonesia sebagai bahasa gado-gado bisa menyerap banyak sekali bahasa, baik asing maupun bahasa daerah. Contoh sederhananya panggilan anak pada orang tuanya sangat beragam. Ada ayah, bapak, abi, abah, papa, papi, dedi, daddy. Ada ibu, bunda, mama, umi, mami, emak... emang masih ada yang manggil emak? Kalau anakmu, atau kamu manggil bapak ibu bagaimana?

Posting Komentar untuk "Ngomong Sama Bona Apa Ngomongin Bona | Nama Sebagai Kata Ganti dari Sebuah Diskusi"